Berita, Luhah.com // Isu pengadaan laptop Chromebook kembali ramai setelah nama mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim terseret kasus hukum. Banyak pihak kemudian menyoroti sistem pengadaan pemerintah dan bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas proyek semacam ini?
Saya menemui Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP, Setya Budi Arijanta. Ia langsung menegaskan, LKPP tidak ikut mengeksekusi pengadaan. Lembaganya hanya menjadi penyedia sistem, semacam “marketplace” yang mempertemukan instansi pemerintah dan penyedia barang.
“Pengadaan dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan pemda masing-masing. LKPP hanya menyiapkan sistemnya,” kata Setya di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
Setya menjelaskan bahwa proses pengadaan selalu berawal dari Pengguna Anggaran (PA) yang menentukan kebutuhan, jadwal, dan jenis produk yang akan dibeli. Setelah itu, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menjalankan proses sesuai aturan, termasuk memilih metode pembelian—entah lewat tender, e-purchasing, atau pengadaan langsung.
Ia juga menekankan pentingnya penggunaan produk dalam negeri. Dalam katalog LKPP, hanya produk dengan sertifikat TKDN minimal 40 persen yang bisa diutamakan. “Kalau bisa pakai produk lokal, impor tidak boleh,” ujarnya.
Setya kemudian mengingatkan bahwa harga di e-Katalog bukan harga mati. PPK wajib menegosiasikan harga agar negara tidak dirugikan. Ia juga tak menutup mata terhadap pelanggaran yang masih terjadi—mulai dari markup anggaran hingga spesifikasi yang diarahkan ke merek tertentu. “Biasanya, kalau ada masalah hukum, kesalahannya sudah muncul sejak tahap perencanaan,” katanya lugas.
Pakar hukum pengadaan dari Universitas Ibn Khaldun Bogor, Nandang Sutisna, menilai pengadaan Chromebook sejauh ini masih wajar. Ia menilai, selama produk dan harganya masih sama di e-Katalog, maka tidak ada yang perlu dicurigai. “Kalau barangnya masih tersedia dengan harga yang sama, berarti masih sesuai harga pasar,” ucapnya.
Saya menelusuri portal Inaproc dan menemukan fakta yang sama. Hingga Oktober 2025, sejumlah pemerintah daerah masih membeli Chromebook dengan harga Rp5 juta–Rp6 juta per unit.
Meski begitu, Nandang mengingatkan agar pengawasan jangan kendor. Menurutnya, sistem e-Katalog memang lebih efisien, tapi juga membuka peluang penyimpangan karena proses seleksi penyedia kini lebih mudah.
Untuk menutup celah itu, LKPP mulai mengandalkan sistem pengawasan digital seperti i-Audit, i-Lapor, dan AI Price Intelligence. Sistem ini bisa mendeteksi transaksi mencurigakan, laporan harga tidak wajar, hingga pemalsuan sertifikat TKDN.
Faktanya, hingga saat ini produk Chromebook masih tayang dan aktif di katalog pemerintah. Artinya, mekanisme pengadaan berjalan sesuai prosedur, dan LKPP terus memperkuat pengawasan lewat teknologi agar setiap rupiah anggaran digunakan dengan transparan dan bertanggung jawab.(*)

